CatPer Gn. Bromo (2)
Kami tidak berlama-lama di gardu pandang, kira-kira hanya sekitar 15 menitan kami menikmati panorama Gunung Bromo dan sekitarnya dari puncak Gunung Penanjakan. Suasana di Gardu Pandang Gunung Penanjakan saat itu sudah sepi karena setelah puas melihat matahari terbit, wisatawan bergegas menuju ke Gunung Bromo. Tinggal beberapa orang saja yang masih bertahan di sana, masing-masing 4 warga Malaysia, 4 orang bule yang mengaku berasal dari Perancis dan 3 orang Indonesia termasuk kami berdua. Mas Agung yang fasih berbahasa Perancis segera menyapa warga Perancis dan mengobrol dengan mereka. Dia juga diminta oleh warga Malaysia untuk memotret mereka. Aku sendiri berkenalan dengan seorang warga Indonesia yang mengaku bernama Jay. Dia rupanya anggota rombongan keempat warga Perancis itu. Tadinya aku agak enggan untuk berkenalan, tapi karena aku sempat memperhatikan pembicaraan dia dengan seorang warga bahwa dia dan rombongan ingin ke Gunung Bromo tanpa kendaraan, aku memberanikan diri untuk berkenalan. Alhamdulillah akhirnya kami menjadi satu rombongan untuk menuruni Gunung Penanjakan menuju Laut Pasir dan Gunung Bromo.
Kami bergegas meninggalkan Gardu Pandang, mencari jalan pintas untuk menuju ke Laut Pasir dan Gunung Bromo. Sebelum meninggalkan gunung Penanjakan, kami berhenti di warung untuk membeli air minum dan makanan. Dari warung makan kami melanjutkan perjalanan. Mereka mengikuti langkahku menuju jalan pintas yang kami lewati sewaktu berangkat ke Gardu Pandang. Aku masih ingat betul jalan pintas itu dimana di situ berdiri sisa jagung bakar dengan 3 atau 4 batu sebagai penyangga. Selain itu, di situ juga terdapat sisa sesaji.
Perjalanan menuruni gunung Penanjakan sangat cepat, lebih cepat daripada waktu kami menaikinya. Kami berjalan beriringan dan sangat berhati-hati karena licin. Sesekali aku berpegangan pada rumput dan pohon-pohon kecil. Sepanjang perjalanan, warga Perancis paling banyak bicara. Menurut mas Agung, memang seperti itulah kebiasaan warga Perancis. Bahkan saat kerja pun mereka gemar mengobrol.
Kami terus menuruni gunung melewati jalan setapak. Aku berjalan paling depan, sesekali aku terpeleset dan hampir terjatuh. Di tengah perjalanan, kakiku terasa gemetar. Aku mencoba istirahat sejenak, sementara Jay aku suruh jalan duluan sekalian mencari jalan alternatif kalo-kalo ada jalan pintas yang lebih singkat untuk menuju Laut Pasir. Warga Perancis masih tetap saja mengobrol sepanjang perjalanan. Mas Agung sendiri ikut terlibat dalam obrolan mereka.
Saat kami berjalan, kami berpapasan dengan dua orang ibu-ibu sedang mencari kayu. Mereka menawarkan diri untuk diambil gambarnya. Selesai kami berfoto, mereka meminta bayaran kepada kami. Wah, kirain gratis... ternyata harus bayar.
Kami segera melanjutkan perjalanan hingga tibalah kami di Gardu Pandang di lereng gunung Penanjakan. Di situ sudah ada 2 orang wisatawan dan seorang penduduk setempat. Kami istirahat sebentar untuk sekedar menghilangkan lelah. Kakiku sendiri masih terasa gemetar. Dua pria Perancis dan Jay berjalan lebih dulu untuk melanjutkan perjalanan sedangkan aku, Mas Agung dan dua cewek Perancis masih berada di Gardu Pandang yang di sana sini penuh dengan coratan tangan-tangan jahil. Kami segera menyusul Jay melanjutkan perjalanan. Nampak Jay mencoba menuruni jalan setapak untuk menemukan jalan pintas, sedangkan kami menunggu di atas. Karena nggak ada jalan pintas, Jay kembali bergabung dan menyusuri jalan yang sudah ada.
Jalan setapak yang kami lewati berakhir di ujung jalan beraspal dimana terdapat tumpukan batu yang digali oleh penduduk. Kami terus berjalan hingga sampai di perkebunan Lencang (semacam tanaman bawang) milik penduduk. Kami berhenti sejenak, mencari jalan pintas. Aku mencoba mendekati rumah penduduk untuk mencari jalan pintas. Oleh pemilik rumah, dia mengatakan bahwa tidak ada jalan pintas di situ. Aku berbalik kembali ke rombongan.
Mas Agung dan seorang warga Perancis mencoba bertanya pada orang yang berdiri di dekat mobil pengangkut hasil perkebunan. Aku mengikuti mereka dan ikut ngobrol dengan sang bapak pemilik mobil. Saat kami mengobrol, tiga warga Perancis nekat menerobos perkebunan penduduk. Aku agak takut mengikuti mereka, takut kena marah pemilik kebun. Bapak pemilik mobil memberi semangat untuk mengikuti ketiga warga Perancis tersebut. Akhirnya dengan setengah berlari aku beranikan diri mengikuti mereka.
Di bibir sungai tak berair, mereka kebingungan mencari jalan menyeberang. Aku yang sudah berada di bibir sungai segera mengikuti jalan turun yang sudah ada. Yang lain mengikuti di belakangku. Jalan turun itu sangat curam dan licin. Aku berjalan pelan sambil berpegangan pada rerumputan. Sampai di bawah, aku terus mengikuti jalan naik yang juga sangat curam dan licin. Aku berjalan merangkak untuk menjaga keseimbangan karena selain kakiku masih gemetar, sandal gunung yang aku pake juga sangat licin. Tibalah aku di seberang sungai. Aku berhenti sejenak dengan menyandarkan diri di pohon. Seorang warga perancis mendahuluiku mengikuti jalan yang juga dilewati penduduk setempat. Kami menyapa seorang ibu petani dan menanyakan jalan menuju ke Laut Pasir. Sang ibu membenarkan bahwa jalan yang kami lewati akan menuju ke Laut Pasir dan Gunung Bromo.
Kami terus berjalan hingga akhirnya jalan turun ke Laut Pasir sudah di depan mata. Kami segera menuruni jalan tersebut dengan hati-hati. Aku beberapa kali terpeleset. Hal serupa dialami oleh Jay. Kami berpapasan dengan seorang penduduk yang menawarkan jasa kuda kepada dua cewek Perancis tapi ditolak oleh mereka. Benar juga apa yang dikatakan mas Agung bahwa orang Perancis paling doyan jalan.
Sampailah kami di Laut Pasir yang luas. Rumput-rumput mengering, debu beterbangan oleh langkah kaki kami. Saputangan aku keluarkan untuk menutup hidung. Kami terus berjalan mengikuti jejak kaki yang mengarah ke Gunung Bromo. Aku masih keheranan dengan keempat warga perancis yang belakangan aku ketahui bernama Antonio, Nico, Dewi dan Natalie karena mereka mengobrol tiada henti. Aku, Mas Agung dan Jay hanya sesekali mengobrol selama dalam perjalanan.
Kami berhenti di dinding batu sebuah Pura untuk istirahat dan berteduh. Di situ aku segera duduk sambil meluruskan kaki. Aku tidak perduli betapa kotornya tampangku saat itu. Kami minum air mineral yang kami bawa, sedangkan warga Perancis makan wafer bawaan mereka. Mereka membagi juga kepada kami. Satu hal yang patut dicontoh dari warga Perancis, mereka sangat perduli dengan kebersihan. Mereka tidak akan membuang sampah seenaknya. Sewaktu Jay minum, botol bekas minumannya dia buang dengan menyelipkannya di batu dinding Pura. Oleh Antonio botol diambil dan ditutup rapat kemudian dimasukkan ke dalam tas-ku. Begitulah orang Perancis, selain doyan jalan, doyan ngobrol, mereka juga perduli dengan kebersihan.
Matahari sudah meninggi, panasnya tidak terasa karena angin gunung yang dingin bertiup cukup kencang. Aku meninggalkan rombongan menuju bangunan dekat kaki gunung Bromo. Bangunan yang tidak lain adalah toilet umum itu kondisinya memprihatinkan. Coretan ulah tangan-tangan jahil mengotori seluruh dinding toilet. Pintu toilet tertutup rapat, hanya satu yang terbuka karena memang tak dilengkapi pintu. Aku segera masuk untuk buang air besar. Selesai buang air besar, aku segera keluar. Berdiri menunggu rombongan sekaligus memandang 4 orang pemuda yang lagi camping dekat toilet. Mereka menawari kami kopi panas tapi kami menolaknya karena harus segera naik ke Gunung Bromo.
Kami segera berjalan menuju tangga. Menaiki tangga yang kemiringannya entah berapa derajat, kami beberapa kali berhenti untuk melepas lelah. Setapak demi setapak, akhirnya satu per satu dari kami mencapai bibir Gunung Bromo. Aku melihat ke sekitar, memandang gunung Bromo yang sempat meletus beberapa bulan yang lalu dan menewaskan dua orang pengunjungnya. Sepertinya letusannya tak membuat wajah Gunung Bromo berubah, masih sama seperti ketika aku datang untuk pertama kalinya.
Di puncak Bromo, aku lebih banyak duduk daripada berjalan menyusuri bibir kawah. Sedangkan yang lain foto-foto bersama dengan serombongan pemuda yang entah dari mana asalnya. Mas Agung sendiri akhirnya ikut duduk membelakangi kawah Bromo, memandang ke arah laut pasir. Dewi dan Jay turut serta bersama kami. Mas Agung mengobrol dengan Dewi dengan bahasa Perancis yang aku tidak tau apa isi pembicaraan mereka.
Puas di Gunung Bromo, kami segera beranjak menuruni tangga meninggalkan dua orang bule tua yang masih duduk di bibir kawah. Antonio dan Jay berjalan lebih dulu meninggalkan aku, mas Agung, Dewi, Natalie dan Nico. Mereka mengikuti arah serombongan pemuda yang lebih dulu turun. Kami sendiri berbeda haluan dengan Jay dan Antonio, mencoba mencari jalan pintas menuju ke penginapan. Sampai di ujung laut pasir di bawah dinding tebing, kami tidak menemukan jalan ke atas di mana terdapat penginapan. Akhirnya kami menyusuri dasar dinding tebing hingga akhirnya menemukan jalan menuju ke penginapan. Dewi dan Natalie lebih suka naik kuda untuk menuju ke penginapan, sedangkan aku, Mas Agung dan Nico berjalan kaki. Kami berpisah dengan Nico yang akan menuju ke penginapannya sedangkan kami sendiri bergegas mencari kamar mandi.
Sehabis mandi, kami mengobrol dengan penduduk setempat. Kami baru tau kalo kawasan wisata Gunung Bromo sudah dibuka untuk umum sejak zaman Belanda. Di Cemoro Lawang sudah berdiri Hotel sejak tahun 1969 bersamaan dengan masuknya aliran listrik ke sana. Bandingkan dengan daerahku yang baru menerima aliran listrik tahun 1995, dan daerah mas Agung yang katanya baru masuk aliran listrik sekitar tahun '80an. Di Cemoro Lawang pula tidak diperbolehkan sejengkal tanah pun dijual kepada pendatang selain warga mereka sendiri. Semua bangunan di sana adalah milik mereka sendiri yang harus mereka jaga secara turun temurun. Mungkin dua menara yang berdiri di sana juga sekedar menyewa tanah tanpa memiliki hak milik atas tanah itu.
Selesai mengobrol kami segera mencari makan di sekitar pemberhentian mobil. Makanan di sana murah, juga penginapan dan hotelnya. Yang mahal mungkin sarana transportasinya. Meskipun matahari cukup cerah, udara dingin membuat badanku menggigil saat menunggu mobil yang akan membawa kami ke Probolinggo. Sopir dan Kernet mobil sudah nggak sabar meminta kami segera masuk ke dalam mobil. Kami sangat tidak nyaman setiap kali dikejar-kejar seperti itu. Baru setelah 4 warga Malaysia berlalu menuju mobil, kami segera masuk ke dalam mobil. Begitu terisi penuh, mobil segera berjalan menuju Probolinggo.
Sepanjang perjalanan badanku terasa kurang sehat. Dari sejak turun dari Gunung Penanjakan, aku susah bersin sedangkan mata sembab berair dan perih. Mukaku juga perih, jerawat tumbuh di bawah hidung. Aku sempat tertidur di dalam mobil menunggu sampainya mobil di Terminal Probolinggo. Sampai di terminal Probolinggo, kami segera berpindah ke bus menuju Surabaya.
Karena badanku yang cape dan kurang sehat, di terminal Bungur Asih Surabaya aku putuskan untuk istirahat semalam di penginapan dekat Terminal. Sedangkan Mas Agung sendiri memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulang ke Temanggung. Besoknya aku kembali ke Jakarta dengan naik kereta Ekonomi Kertajaya.
Untuk Mas Agung, terima kasih atas kebersamaannya. Semoga di lain waktu kita bisa jalan bareng ke banyak tempat. Sukses di negeri Napoleon. AMIN.
<< Home