Monday, August 22, 2005

CatPer Gn. Bromo (1)

Sebenarnya ini bukan kali pertama aku ke Gunung Bromo karena pada April 2004 lalu aku juga ke Bromo bersama beberapa teman. Meskipun sudah pernah ke Bromo sebelumnya, tapi perjalanan ke Bromo kali ini terasa lebih berkesan karena dilakukan dengan cara yang berbeda.

Awalnya, Mas Agung (Lix) yang ngajakin aku ke Gunung Bromo. Masa liburannya pengen dihabiskan di Indonesia. Dia sendiri saat ini masih kuliah di Marseille, Perancis. Selain ngajak aku, dia juga minta dicarikan teman buat nemenin beliau. Tapi sampai hari "H", aku tidak dapat teman lain. Kebanyakan karena alasan nggak ada jatah libur. Aku sendiri bisa berangkat karena nggak kenal hari libur. Asal ada duit, semua beres.

Kami berdua janjian ketemu di Surabaya tanggal 18 Agustus 2005. Aku sendiri lupa menanyakan kapan dia tiba di Indonesia. Beberapa hari aku aku agak was-was karena nggak ada kabar dari Mas Agung. Messenger nggak dijawab. Baru pada 16 Agustus aku dapat kabar dari Mas Agung kalo dia sudah berangkat ke Surabaya lebih dulu. Plong juga akhirnya, hilang sudah keraguan untuk berangkat ke Surabaya.

Aku berangkat ke Surabaya naik kereta ekonomi Kertajaya jurusan Pasar Senen (Jakarta) - Pasar Turi (Surabaya). Berangkat dari PI jam 15:00. Kereta sendiri berangkat jam 16:45. Aku memperkirakan waktu 1 jam 45 menit cukup untuk perjalanan dari PI ke stasiun Pasar Senen. Tapi di jalan aku sedikit was-was kalo-kalo telat sampai di stasiun. Selain laju bus PPD yang aku tumpangi berjalan agak lambat, di kawasan Monas yang berdekatan dengan Istana Negara jalanan ditutup karena akan ada upacara penurunan bendera. Bus yang aku tumpangi terpaksa ambil jalan lain sehingga waktunya jadi agak molor. Jam 16:30 sebelum bus sampai di terminal Pasar Senen, aku sudah turun duluan, berlari menuju stasiun. Alhamdulillah dapet tiket, berarti kereta belum berangkat. Aku buru-buru mencari tempat duduk sesuai nomor yang tertera di karcis. Tepat jam 16:45 kereta berangkat.

Aku tiba di stasiun Pasar Turi kira-kira jam 7:30 pagi. Sebelum sampai di stasiun, aku terima 3 SMS sekaligus yang kesemuanya dari mas Agung. Beliau menanyakan keberadaanku dan memberi instruksi untuk ketemu di Halte Darmo Raya dekat apotek Kimia Farma. Turun dari Kereta aku mencari mobil ke arah Jl. Darmo. Aku sempat bertanya dengan seorang laki-laki tentang kendaraan yang menuju ke Arah Darmo Raya. Beliau menyarankan aku untuk naik angkutan label "C", kemudian dilanjutkan naik bus jurusan Bungur Asih.

Mobil yang ditunggu pun tiba, aku segera naik. Di dalam penuh sesak oleh penumpang. Aku sendiri nggak kebagian tempat duduk sehingga harus jongkok di dalam mobil. Karena nggak kuat jongkok, kakiku sedikit gemetar. Sampai di perempatan lampu merah aku turun dengan kaki gemetar. Alhamdulillah aku turun tidak salah tempat karena jalan itu dilewati oleh bus Damri jurusan Bungur Asih yang juga melewati jl. Darmo Raya.

Bus Damri yang aku tumpangi melaju pelan sambil sesekali berhenti menaikkan penumpang. Aku tidak begitu asing dengan jalan yang dilewati oleh bus itu karena dulu aku pernah jalan-jalan di daerah itu. Di Jl. Darmo Raya aku turun di perempatan Monumen Polri. Aku bergegas mencari apotik Kimia Farma dengan berjalan ke arah selatan. Sampai di pos petugas PPD aku bertanya pada petugas. Beliau mengatakan kalau Apotek Kimia Farma letaknya berseberangan dengan gedung Bank BCA. Gedung BCA sendiri ternyata letaknya jauh di belakang tempat aku turun dari Bus. Aku jalan berbalik arah. Sampai di depan gedung BCA, aku liat Mas Agung berdiri di halte Kimia Farma. Agak susah menyeberang jalan Darmo Raya karena lalu lintas sangat ramai. Dengan hati-hati, aku menyeberangi jalan Darmo. Akhirnya sampailah aku di halte Darmo dan untuk pertama kalinya aku bertatap muka dengan Mas Agung yang di chattingan berinisial "LIX".

Dari halte Kimia Farma, kami menuju hotel tempat mas Agung menginap yang jaraknya tidak begitu jauh dari halte. Kami ngobrol sebentar sebelum aku mandi dan mencuci sandalku yang kelewat kotor. Selesai mandi mas Agung menawari aku makan yang sepertinya sudah disiapkan sebelum aku datang. Dia ngasih tau aku kalo check out lewat jam 12:30 bakalan kena charge baru. Waktu yang tersisa aku manfaatkan untuk tidur sebelum kami berangkat ke Gunung Bromo.

Kira-kira jam 12 kami meninggalkan hotel. Kami memutuskan untuk naik bus menuju Probolinggo. Perjalanan dari Surabaya - Probolinggo ditempuh kurang lebih selama 2 jam. Sesampainya di Probolinggo, kami istirahat sejenak di warung makan dekat Terminal. Aku makan Nasi Soto + Extra Joss, sedangkan mas Agung sendiri lebih suka makan apel bawaannya. Selesai makan kami menuju ke mobil Isuzu warna biru langit yang akan membawa kami ke Cemoro Lawang, tempat terdekat dengan kawasan Gunung Bromo.

Di dalam mobil, kami harus menunggu cukup lama kira-kira 2 jam, menunggu mobil terisi penuh oleh penumpang. Beberapa awak angkutan silih berganti masuk ke dalam mobil, ngobrol dengan beberapa awak angkutan lain yang sudah lebih dulu ngobrol dengan sopir angkutan mobil kami. Entah apa yang mereka bicarakan, kami berdua sama sekali tidak mengerti bahasa mereka. Logat bicaranya mirip logatnya Mbok Bariah di film boneka "Si Unyil". Kira-kira jam 4 sore, mobil kami keluar dari terminal dengan hanya terisi seorang sopir dan dua orang penumpang. Mobil tidak langsung melaju ke Cemoro Lawang, tapi menunggu penumpang di luar terminal. Setiap kali ada orang atau serombongan orang turun dari angkutan lain, kami berharap mereka masuk ke mobil kami agar kami segera diberangkatkan. Beberapa orang penumpang sudah ribut meminta sang sopir menjalankan mobilnya. Akhirnya mobil kami terisi penuh oleh penumpang dan segera diberangkatkan.

Perjalanan dari Probolinggo ke Cemoro Lawang ditempuh selama kurang lebih 2 jam. Kami agak was-was setiap kali penumpang turun, khawatir kalo-kalo mobil kehabisan penumpang sebelum kami sampai di tujuan dan akhirnya kami diturunkan di tengah perjalanan. Saat mobil berhenti di dekat masjid, sang sopir meminta tambahan ongkos kepada kami. Mas Agung menolaknya karena kami merasa sudah membayar sesuai tarif seperti yang dibilang kondektur bus bahwa tarif angkutan Probolinggo - Cemoro Lawang Rp. 12.500. Tapi ternyata tarif segitu terlalu mahal. Menurut pengakuan penumpang lain, tarif Probolinggo - Cemoro Lawang hanya Rp. 7500,- (siang hari).

Kira-kira 15 menitan mobil kami berhenti. Satu dua penumpang naik ke dalam mobil. Dua diantaranya sepasang bule yang sama-sama hendak ke Gunung Bromo. Mobil pun terisi penuh oleh penumpang dan segera melanjutkan perjalanan ke Cemoro Lawang. Kira-kira jam 19:30 kami tiba di Cemoro Lawang. Kami turun dari mobil disambut oleh beberapa orang penduduk yang menawarkan penginapan. Kami tidak langsung menerima tawaran mereka. Kami berjalan mendekati bibir Laut Pasir diikuti seorang bapak yang ngotot nawarin penginapan. Kehadiran bapak dan seorang penjual souvenir membuat kami tidak nyaman memandang Gunung Bromo dan Laut Pasir yang remang-remang diterangi cahaya bulan. Nampak garis-garis putih terlihat jelas di laut pasir yang luas.

Cukup lama kami memandang Gunung Bromo dan Laut pasir sambil mengobrol. Bapak yang nawarin kami penginapan sudah berlalu entah kemana. Penjual souvenir sendiri masih menggelar dagangannya dekat cafe di belakang tempat kami duduk. Puas memandang dan ngobrol, kami berlalu dari tempat duduk kami untuk mencari penginapan. Kami berjalan ke arah bapak-bapak yang tadi menyambut kedatangan kami. Entah kemana bapak yang tadi ngotot nawarin penginapan, kami tidak menemukannya. Justru kami berjumpa dengan seorang bapak lain yang juga nawarin penginapan. Setelah nego harga selesai, kami diajak masuk ke dalam penginapan yang jaraknya tidak jauh dari menara BTS. Kami dipersilakan memilih kamar dari dua kamar yang ada. Setelah kami membayar sewa penginapan, sang bapak berlalu meninggalkan kami.

Di kamar, kami cukup geli membaca coretan-coretan dari orang-orang yang pernah menginap di penginapan tersebut. Tulisan-tulisan berbau mesum menghiasi dinding kamar. Aku sempat menulis beberapa coretan sewaktu mas Agung mandi. Di kamar sebelah kami contohnya tertulis seperti ini "13-9-04 - Akan kubuat kenangan selama hidupku" - ditulis oleh Dewi dan Bandi. "16-17 Mei 04 - Nisa - Bagus / Neni - Dhana" di bawah tulisan mereka tertulis peringatan "WARNING - Awas Diintip Dari Atas". "14 Okt 04 - Aku bermalam di sini" ditulis oleh Anis + Roni from Kebonsari. Tidak semua tulisan berbau mesum, ada juga tulisan lain yang sedikit sopan sepert ini :

The first vacation for us
- Mas Rizki "Melon"
- Yeni "Kenthang"
- Eponk "Tomat"
- Ponas "Nanas"
The Extremely coldest place, ever!

Sedangkan di kamar kami, tertulis coretan-coretan yang tidak kalah lucu bin jorok. "Januari 01, 04 - Love Happy New Year Anak-Anak Zoeroboyo (Sapta vs Dedik) - Aku Cayank Kamu, Enak tadi malam nge*** ama kamu". "Love's Bullshit but we were here 4 just having f***ing love" - ditulis oleh Ponky vs An Wijaya. Ada juga tulisan yang berbau harapan/doa. "12 Juni 05 - Sweet Memory in Bromo" Ditulis dan ditanda tangani oleh Agus dan Ratna. Di bawah tulisan mereka tertulis "Semoga jd jodoh yg abadi. Peace & Love".

Begitulah gambaran penginapan kami. Meskipun banyak coretan-coretan, tapi penginapan tersebut cukup bersih. Bak mandi terisi air yang hampir penuh dengan seekor ikan mas di dalamnya. Sepertinya penduduk sekitar Gunung Bromo termasuk orang-orang jujur. Mereka meninggalkan rumah tanpa mengunci pintu. Saat kami meninggalkan penginapan untuk makan, pintu rumah dibiarkan terbuka. Sedangkan pemilik penginapan entah berada di mana.

Selesai makan kami kembali ke penginapan untuk tidur. Sebelum tidur, aku sempat SMS-an dengan teman di Surabaya. Sinyal di sekitar Gunung Bromo termasuk kuat, berbeda dengan waktu pertama kali aku ke Bromo dimana HP-ku sama sekali tak ada sinyal. Sepertinya dua menara BTS dekat penginapan kami milik operator GSM.

Puas SMS-an, akhirnya kami tidur dengan selimut tebal. Suhu yang dingin menjadikan tidurku tidak begitu nyaman. Beberapa kali aku terbangun dari tidurku. Sedangkan mas Agung sepertinya sudah biasa dengan suhu dingin. Selain di Perancis bersuhu dingin, dia dan keluarganya juga tinggal di daerah pegunungan di Temanggung.

Tepat jam 03:15, alarm HP-ku berbunyi. Aku segera bangun dan mengintip keluar lewat jendela. Di luar nampak beberapa orang berjalan bersama, entah ke mana tujuannya aku tidak tau. Aku segera beranjak dari tempat tidurku untuk cuci muka dan gosok gigi. Suhu air yang dingin membuatku menggigil. Berikutnya giliran mas Agung yang ke kamar mandi. Kira-kira jam 03:30 kami meninggalkan penginapan tanpa pamit pada sang pemilik karena kami sendiri tidak tahu kemana perginya pemilik penginapan. Pintu rumah tidak dikunci sejak kami berangkat tidur.

Di bawah cahaya rembulan, kami berjalan ke arah Gunung Penanjakan tempat di mana gardu pandang untuk melihat matahari terbit berada. Kami memilih berjalan kaki karena menurut bapak yang semalam nawarin penginapan, ada jalan pintas menuju puncak gunung Penanjakan tanpa harus melewati laut pasir. Mas Agung juga lebih suka jalan kaki dibandingkan naik angkutan Jeep maupun kuda. Buat aku nggak masalah buat jalan kaki karena aku sendiri sudah terbiasa jalan kaki. Malah sebelumnya aku berpesan sama mas Agung, kalo mau jalan sama aku mesti nggak boleh manja.

Kami menyusuri jalan beraspal menuju gunung Penanjakan. Jalan beraspal ini berakhir di kaki gunung, selebihnya berupa jalan setapak. Kami terus berjalan menaiki jalan setapak. Sesekali kami berhenti karena mas Agung mengeluh sakit perut. Badanku sudah tidak begitu menggigil kedinginan. Setapak demi setapak kami lewati. Tibalah kami di sebuah gardu pandang yang aku mengira perjalanan sudah berakhir. Sambil beristirahat, aku melihat ke sekeliling gardu mencari menara telekomunikasi yang dulu pernah aku lihat. Aku sama sekali tidak menemukan menara telekomunikasi. Aku kira bukan ini tempatnya. Pasti masih di atas lagi.

Perjalanan kami lanjutkan. Kami memanjat dinding di atas gardu pandang untuk mencari jalan ke atas. Aku agak was-was sewaktu mas Agung memanjat, khawatir dengan perutnya yang masih sakit. Alhamdulillah kami menemukan jalan. Belakangan baru kami ketahui bahwa jalan setapak untuk ke atas posisinya ada di samping gardu pandang.

Kami terus bejalan. Otot-otot kakiku terasa mengeras. Kadang-kadang mas Agung mengeluh sakit perut. Aku memberi waktu dia untuk istirahat sejenak. Di tengah-tengah perjalanan, mungkin baru separuh tinggi gunung Penanjakan kami mendaki, tampak buratan warna merah di langit di balik bukit. Nampaknya matahari sebentar lagi bakalan terbit. Karena kami berpikir pasti bakalan telat kalo melihat matahari terbit di gardu pandang, kami memutuskan untuk menikmati matahari terbit di tengah perjalanan. Cukup lama kami menunggu matahari terbit. Kami juga was-was kalo-kalo salah jalan karena patokan yang aku pake adalah menara komunikasi. Sementara di puncak Penanjakan sama sekali tak terlihat lampu yang menyala dari menara komunikasi.

Saat matahari terbit, dunia tampak lebih cerah. Gunung Bromo nampak indah dengan kepulan asap putihnya. Sedangkan si jangkung Mahameru mengepulkan asap hitam yang membumbung tinggi. Tak terlihat adanya kabut di sekitar gunung Bromo. Hamparan pasir yang luas jelas terlihat dengan garis-garis putih di atasnya. Aku memandang ke atas, mencari menara yang jadi patokan. Nampak olehku menara yang aku cari-cari. Menara sebanyak itu tak satupun menyala lampu menara seperti menara-menara komunikasi kebanyakan. Aku dan Mas Agung bergegas menuju ke arah menara itu. Jalan setapak yang kami lewati sangat gembur dan berdebu. Kami sangat hati-hati dalam melangkah, kadang-kadang aku berpegangan pada rumput dan pohon-pohon kecil di sekitar jalan agar tidak jatuh terpeleset. Jalan setapak itu berakhir di jalan raya beraspal. Sebelum kami melanjutkan perjalanan, kami berhenti sejenak untuk istirahat melepas lelah.

Kami segera melanjutkan perjalanan ke Gardu Pandang. Tak berapa lama kami berjalan, nampak di kanan kiri jalan berjajar mobil Jip Land Cruiser. Artinya gardu pandang yang kami tuju tidak terlalu jauh lagi. Kami terus melangkah. Hampir semua pengunjung sudah beranjak meninggalkan gardu pandang sebelum kami sampai di sana. Kami cuek berpapasan dengan mereka, pokoknya harus sampai di gardu pandang. Puas rasanya, sampai juga kami di gardu pandang yang kami tuju. (bersambung)