Thursday, June 23, 2005

Mbak, kamu di mana?!?

Aku punya seorang kakak perempuan namanya Suranti. Umurnya hanya terpaut 1 tahun denganku. Karena umur yang hampir sama itu, aku biasa manggil dia namanya saja “Sur”. Sewaktu kami masih balita, kami selalu bermain bersama. Yang unik, mainan dan pakaian pun sama. Kalo ibu membelikan dia boneka, aku juga dibelikan boneka yang sama. Kalo dia dibelikan pakaian anak perempuan, aku juga dibelikan dengan model yang sama. Pokoknya segalanya hampir sama. Baru setelah kami masuk sekolah, kami mulai tampil beda.

Kedekatanku dengan dia terputus ketika dia lulus SD. Dia pindah ke Tegal untuk sekolah sekaligus merawat wanita tua. Sedangkan aku sendiri setelah lulus SD juga pindah ke Jogja untuk bekerja sekaligus melanjutkan sekolah. Selama kami sekolah, kadang-kadang kami berkirim kabar lewat surat.

Tiga tahun lebih dia di Tegal. Setelah lulus SMP, dia ada tawaran kerja di Jakarta. Sedangkan aku sendiri masih melanjutkan study di sekolah kejuruan. Tahun 2000 setelah study-ku rampung, aku pindah ke Jakarta untuk bekerja.

Tanggal 7 Maret 2002, teman kerjanya (Riyadi dan Mulyadi) mengabarkan kalo Sur belum pulang setelah diajak bergi sama 2 orang kenalan barunya. Sontak aku panik saat itu. Teman-teman kerjanya juga was-was dengan nasib kakakku. Mereka mencari kakakku dengan berbagai cara. Ada yang lewat peramal, ada juga yang lapor ke polisi. Sedangkan aku sendiri bolak balik kantor – tempat kerja kakaku untuk meminta informasi yang lebih detail.

Hari terus berganti. Beberapa kerabat dan saudaraku aku kabari. Hanya ibuku yang tidak aku kasih kabar. Takut dianya shock. Bapakku setelah mendengar berita itu hari-harinya murung terus memikirkan putri kesayangannya yang entah ada di mana.

Empat hari kemudian, Sur menelepon tempat kerjanya. Dia mengatakan kalo dia dalam kondisi baik-baik saja. Tapi dia tidak mau menyebutkan alamat lengkapnya. Hanya ngasih patokan bahwa dia ada di daerah Tebet. Dengan berbekal informasi itu, teman-teman kerjanya langsung ke peramal untuk memastikan keberadaan kakakku. Mereka percaya saja apa kata peramal-peramal yang mereka mintai bantuan. Beberapa teman kerjanya kemudian bergegas mencari kakakku ke daerah Tebet. Aku sendiri masih penasaran dengan nomor telepon yang dipake kakakku untuk menelepon ke tempat kerjanya. Kebetulan di tempat kerjanya, nomor penelepon tercatat di layar telepon. Aku lupa nomor teleponnya, tapi yang jelas nomor yang dia pake adalah nomor wartel dari daerah Cipinang Muara. Hanya saja pihak operator telepon tidak bisa memberikan alamat lengkap wartelnya.

Besoknya aku mencari kakakku di daerah Cipinang Muara barangkali dia berkeliaran di daerah itu. Tapi seharian aku di daerah itu, aku tidak menemukannya. Bahkan beberapa orang yang aku kasih foto kakaku tidak ada yang melihatnya.

Beberapa minggu berlalu. Keberadaan kakakku masih belum jelas. Teman-teman kerjanya sudah capek mencarinya. Aku sendiri sudah kehabisan akal untuk menemukannya. Hanya doa setiap habis sholat yang bisa aku lakukan, berharap Tuhan mau menunjukkan keberadaan kakakku. Di kantor, teman-teman kantorku menyarankan aku untuk pergi ke orang pintar. Mereka menyuruhku membawa potongan rambut, foto atau baju yang dia kenakan sebagai syarat untuk pergi ke orang pintar. Tapi semua itu tidak aku turuti. Aku masih percaya pada keyakinanku bahwa aku pasti bisa menemukan kakakku dengan caraku sendiri.

Sebulan kakakku tidak ketahuan rimbanya. Saudara dan kerabatku makin mencemaskan dia. Setiap kali dia telepon ke aku atau ke rumah Pakdhe di Bekasi, dia tidak mau menyebutkan alamat lengkapnya. Bekas tempat kerjanya di daerah Palmerah pernah didatangi kakakku tapi untuk meneleponku, pemilik rumah makan itu tidak ingat nomor kantorku. Dia datang ke bekas tempat kerjanya untuk meminjam uang. Aku jadi khawatir, jangan-jangan kakaku sudah terlibat sekandal penipuan.

Pernah suatu hari dia menelepon kantorku. Kebetulan aku yang mengangkatnya. Dia mengatakan kalo dia butuh duit untuk kursus menjahit. Aku sanggupi saja permintaannya. Dia minta alamat kantorku karena dia sendiri yang akan mengambil duitnya.

Tanggal 11 April 2002, kira-kira jam 2 siang kakakku menelepon ke kantorku. Dia bilang kalo dia tidak bisa ambil duitnya ke tempatku. Dia maunya duit dianter ke Blok M tepatnya di telepon umum depan Bank BRI Blok M. Saat itu juga aku segera ke sana dengan hanya membawa tas pinggang dan HP tanpa charger. Benar juga, ternyata dia sudah menungguku di sana dengan seorang teman perempuannya yang mengaku berasal dari Cepu. Aku rangkul dia. Tangisku pun pecah. Anehnya, kakakku sama sekali tidak menangis apalagi keluar air mata. Orang-orang sekitar memandangi kami berdua. Mereka mengira kami korban pencopetan.

Aku membujuknya untuk pulang kampung. Aku bilang padanya kalo semua orang mencemaskannya. Tapi dia bersikeras untuk tidak pulang. Dia maunya balik ke Tebet. Tapi aku tidak kehilangan akal. Bagaimanapun juga dia harus pulang. Aku menjanjikan separuh gajiku untuk dia asal dia mau pulang ke Ibu. Alhamdulillah bujukanku berhasil.

Dengan menumpang taksi, aku berangkat ke Pool Bus Gajah Mungkur di Cibitung Bekasi. Tapi tidak langsung ke Cibitung karena temannya tidak mau ikut pulang. Dia minta diantar ke Kampung Melayu. Akhirnya permintaan temennya aku penuhi. Setelah temannya turun dari taksi, aku minta sama sopir taksi untuk berhenti di ATM Mandiri karena saat itu aku tidak membawa uang cukup. Hanya 50 ribu rupiah yang ada di dompetku. Alhamdulillah akhirnya aku menemukan ATM yang aku cari. Aku ambil uang secukupnya. Saat aku mengambil uang, pak sopir aku minta menjaga kakakku agar tetap di dalam mobil.

Setiba di pool Bus Gajah Mungkur, aku membeli tiket bus. Yang tersisa tinggal kelas Big Top yang harga tiketnya 100 ribu per orang. Bus kelas di bawahnya sudah penuh. Begitu tiket aku dapat, aku langsung telpon Pakdhe dan Boss-ku. Aku minta ijin untuk mengantar pulang kakaku.

Perjalanan pulang tidaklah mulus tanpa halangan. Sekeluarnya dari tol Cikampek, segerombolan penjual makanan ringan masuk ke dalam bis. Mereka mengaku bekas tahanan dengan menunjukkan kartu tahanan yang mereka miliki. Mereka memaksa seluruh penumpang untuk membeli jualannya. Bau alkohol tercium dari mulut mereka. Setiap 5 bungkus makanan, penumpang harus membayarnya dengan harga 20 ribu rupiah. Tapi kami bersyukur bahwa kami berdua malah dapat 8 bungkus makanan dengan jumlah uang yang sama. Sewaktu preman itu hendak membangunkan kakakku yang sedang tidur, aku membentak mereka. Aku mengatakan bahwa dia kakakku. Entah setan dari mana yang datang hingga aku berani membentak preman-preman sialan itu.

Setiba di rumah, kami disambut isak tangis saudara-saudaraku. Hanya ibuku yang tampak heran dengan kedatangan kami karena kami tidak membawa bekal apa-apa. Kakakku hanya membawa tas kecil yang hanya muat dompet saja. Sedangkan aku hanya membawa tas pinggang yang hanya berisi HP. Oleh-oleh yang aku bawa hanya makanan yang aku beli di bus.

Ibuku seolah-olah linglung dengan kedatangan kami. Ternyata dia sama sekali tidak tau kejadian yang menimpa kakakku. Bapak yang tidak pernah menangis aku lihat dia tampak mengeluarkan air mata. Aku menjelaskan ke ibuku dengan tangis sesenggukan. Begitu mendengar ceritaku, ibuku juga tak bisa menahan tangisnya. Dipeluknya putri kesayangannya erat-erat. Akupun berpesan kepada seluruh keluargaku untuk menjaga Sur sebaik-baiknya. Dia aku larang untuk balik ke Jakarta selain atas ijinku.

Enam bulan berikutnya Sur meneleponku. Dia mau balik ke Jakarta untuk bekerja. Dengan berat hati aku memberinya ijin. Aku sendiri hanya sanggup memberi separuh gajiku sampai 3 bulan saja. Alhamdulillah di Jakarta dia bertemu jodohnya. Tanggal 10 Oktober 2004 dia menikah dan sekarang sedang mengandung 6 bulan.