Thursday, June 23, 2005

Ada sebongkah harapan...

Sejak sebulan yang lalu aku resmi keluar dari tempat kerjaku. Pada awalnya aku ragu untuk keluar karena berbagai pertimbangan. Tapi dengan tekad bulat, aku terpaksa mengundurkan diri.

Sehari setelah aku keluar dari kantor, aku langsung pulang kampung. Di kampungku banyak yang tidak percaya kalo aku sudah jadi pengangguran. Tapi karena aku lama di kampung (hampir 1 bulan) lama kelamaan banyak juga yang percaya.

Di kampung, tidak banyak kegiatan yang aku lakukan selain bermain dengan ponakan-ponakan dan membantu orang tua sebisaku. Pagi bersih-bersih rumah, siang main dengan ponakan yang masih balita sedang sorenya menggembala sapi punya bapak. Malamnya aku kumpul-kumpul dengan remaja kampung. Praktis aktivitasku tidak membuat otak dan kreativitasku berkembang. Kemudian timbul pikiran, "kalo gini terus, bisa-bisa aku jadi O'on".

Bisa dibayangkan hidup di kampung yang jauh dari media informasi. Nggak ada internet dan koran. Yang ada radio dan televisi. Tapi kedua media tersebut lebih banyak memutar siaran hiburan macam musik dan sinetron. Aku sendiri lebih banyak mengalah sama ponakan-ponakanku serta tetangga yang ikut nonton TV di rumahku. Hampir setiap hari, rumahku yang sederhana dan hampir 100% terbuat dari kayu itu aku bebaskan untuk bermain anak-anak tetangga. Kadang aku heran sendiri dengan anak-anak itu. Meskipun mereka punya TV sendiri di rumahnya, tapi mereka lebih suka nonton TV di rumahku. Padahal acara dan ukuran TV serta fasilitas yang ada di rumahku sama persis dengan punya mereka. Senang juga rumahku jadi basis bermain anak-anak, jadi kelihatan ramai meskipun yang tinggal di rumahku cuman bapak dan ibuku. Kakak-kakaku sudah pada punya rumah sendiri. Tapi anak-anak mereka kalo main dan tidur pasti di rumahku.

Waktu terus berganti. Dari detik menjadi menit. Dari menit menjadi jam. Dari jam menjadi hari. Dari siang berganti malam ketika sang mentari telah tenggelam di balik gunung di ufuk barat. Aku merasa betah tinggal di kampungku. Mau makan tinggal ambil di dapur. Kalo di dapur rumah nggak ada makanan bisa ambil di dapur kakak sulungku. Kalo di dapur kakak sulungku nggak ada makanan, aku bisa ambil di tempat kakakku yang lain. Hidup terasa ringan tanpa beban. Segala kesenangan telah melenakan aku. Aku seperti lupa diri. Lupa bahwa aku punya cita-cita. Sudah menjadi kodrad manusia bahwa kelak aku akan berkeluarga. Kalo makan saja minta sama orang lain, gimana nanti kalo aku sudah berkeluarga?. Masa mau minta sama orang tua juga. Tidak!!! Aku harus bisa mandiri. Aku harus mencari nafkah.

Kira-kira 2 mingguan aku di kampung, ada beberapa SMS dari teman yang ngasih info lowongan kerja. Aku merespon dingin info itu. Aku masih ragu-ragu untuk balik ke Jakarta. Bahkan tanggal 10 Juni yang aku tetapkan sebagai hari akhir aku di kampung, aku langgar dan aku undur lagi waktunya. Baru tanggal 13 Juni aku bener-bener berangkat ke Jakarta. Berat juga meninggalkan kampung halaman. Bimbang juga untuk balik ke Jakarta karena aku nggak tau mau ngapain di Jakarta nantinya. Satu-satunya pekerjaan yang sudah aku pegang adalah maintain komputer sebulan sekali di salah satu kantor di gedung Graha Niaga Sudirman. Tapi tak apa, semua harus dilakoni. Apapun yang terjadi di Jakarta nantinya, aku masih ada adik, kakak dan teman-temanku yang pasti bakalan membantu.

Benar juga. Setibanya di Bekasi, aku langsung ke tempat adikku. Menginap di sana 2 malam sekalian nunggu dia gajian karena aku meminta uang yang dia pinjam. Setelah uang di tangan, aku langsung berangkat ke kontrakan kakaku di Palmerah. Aku ambil beberapa pakaian yang aku titipin di sana. Dari Palmerah, aku langsung ke Pondok Indah tempatku dulu bekerja. Alhamdulillah setelah 1 bulan aku tinggalkan, bekas teman kantor, atasan-atasanku serta mantan boss-ku mengijinkan aku tinggal di kantor. Memang sebelum aku pamitan pulang kampung, aku pernah berpesan bahwa kalo nanti aku balik ke Jakarta aku masih mau tinggal di kantor itu.

Di bekas kantorku, aku bebas untuk tidur, nyuci baju, mandi dan main internetan sesukaku. Mirip sekali dengan waktu aku masih kerja di kantor itu. Hanya saja, aku tidak terima gaji dari mantan boss-ku. Sambil main komputer yang konek internet 24 jam, aku coba-coba cari lowongan kerja di berbagai situs. Aku juga cari lowongan kerja sama teman chattingku. Alhamdulillah ada beberapa teman yang nawarin lowongan kerja ke aku. Ada yang nawarin kerja di Sukabumi, ada yang nawarin kerja di bagian programming dan ada juga yang nyodorin kerjaan buat dibikin web flash untuk company-nya (tawaran terakhir sebenarnya sudah disodorin ke aku sebelum aku mengundurkan diri dan sekarang dalam proses pembuatan). Bekas teman kantorku juga nyuruh aku buat melamar kerja di kantor temannya tapi belum aku lakukan karena berbagai pertimbangan.

Hari ini, aku sedikit punya kejutan. Teman chattingku yang sudah lama tidak ketemu nawarin aku buat jadi penulis. Menurutnya aku bisa jadi penulis setelah dia melihat tulisanku di blog ini. Aku sedikit tercengang karena aku merasa tidak punya bakat ke arah itu. Tapi dia memotivasi aku untuk mencoba menulis. Dia memang tau banyak soal karya tulis karena dia bekerja sebagai editor di salah satu penerbitan. Beberapa buku terbitan penerbit itu sudah aku baca. Menurutnya, tulisanku ada yang bisa dibukukan seperti tulisan-tulisan orang lain yang sudah diterbitkan penerbit itu.

Dari tawarannya itu, aku jadi tergugah untuk mencobanya. Aku yang tadinya nggak PD nulis diary-ku jadi bersemangat untuk menulis. Beberapa tulisanku yang sudah aku posting di Bloggerku aku posting juga ke Blog Friendsterku. Aku berharap ada orang lain seperti dia yang mau memperhatikan tulisanku sekaligus memberi kritik dan saran yang membangun.