Dari sejak aku lahir sampai sekarang, belum pernah aku melihat ibuku masak dengan bahan bakar minyak tanah. Beliau lebih suka pakai kayu bakar yang mudah didapat dan gratis. Pernah mbakku membelikan ibu kompor minyak, tapi ibu bilang nggak sabar makenya. Ujung-ujungnya malah kompor dianggurin dan karatan di sana sini.
Kalo sekarang harga minyak tanah melambung tinggi, rasanya tidak akan dirasakan oleh ibuku dan juga tetangga-tetanggaku di kampung yang sama-sama tidak mengkonsumsi minyak tanah sebagai sumber energi untuk memasak. Paling-paling yang dirasakan berat kalo mereka pergi ke pasar yang jaraknya lumayan jauh karena ongkos transport naik. Tapi ini masih bisa diakali dengan nitip/numpang belanja pada tetangga yang pergi ke pasar. Karena hanya numpang, belanjaannya pun nggak terlalu banyak. Kebanyakan belanja kebutuhan dapur yang tidak bisa diproduksi sendiri seperti minyak goreng, tahu, bumbu dapur dsb. Kalo hanya sekedar sayur-sayuran, hampir semua warga di kampungku menanam sendiri di ladang mereka.
Krisis EnergiLain di desa, lain di kota. Di kota, hampir semua warga mengkonsumsi BBMG (Bahan Bakar Minyak dan Gas). Untuk kebutuhan dapur, masyarakat level paling rendah memakai minyak tanah. Level di atasnya sudah memakai gas Elpiji (LPG) dan energi listrik.
Belakangan ini BBMG susah didapat selain harganya juga mahal. Padahal menjelang lebaran seperti sekarang ini, hampir semua harga kebutuhan pokok merangkak naik. Bisa dibayangkan bagaimana jika BBMG tidak tersedia lagi di kota, apa yang bisa mereka lakukan? Beralih ke kayu bakar rasanya nggak mungkin. Selain di kota kayu susah didapat, cukup luaskah rumah mereka menampung tumpukan kayu bakar?!? Pindah ke Energi Listrik!?? Seberapa kuat energi listrik di rumah mereka?
Krisis Energi belakangan ini sudah sangat menghawatirkan. Aku sebagai orang awam tadinya hanya tau bahwa listrik di Indonesia diproduksi dari PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) dan PLTGU (Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap). Tapi ternyata menurut data Direktorat Jenderal Listrik menunjukkan, dari kapasitas terpasang pembangkit nasional yang mencapai 24.262 MW, sebanyak 87% berasal dari migas dan batu bara. Selebihnya berasal dari tenaga air 10,5% dan panas bumi 2,5%. (
http://www.gatra.com). Dengan data tersebut, bisa dibayangkan jika BBM benar-benar habis dari bumi Indonesia, mungkin bakalan gelap gulita. Bukan lagi Habis Gelap Terbitlah Terang, tapi berbalik menjadi Habis Terang Kegelapan. Tragis!!!!
Untuk mengatasi krisis energi, berbagai inovasi diujicobakan. Minyak kelapa sawit diubah menjadi biodiesel untuk menggantikan minyak solar. Bahkan buah-pun ikut-ikutan diubah menjadi biodiesel. Contohnya buah Sirsak dan Serikaya (
www.gatra.com). Tapi, cukupkah hanya dengan buah dan kelapa sawit untuk mengatasi krisis energi kita? Rasanya belum cukup. Malah isu yang bergulir, Indonesia akan membangun PLTN alias Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. Wow, serem!!!
Pro kontra mewarnai isu ini. Lihat saja komentar-komentar yang ada di gatra, yang kontra menyatakan bahwa Indonesia belum siap bermain-main dengan Nuklir terutama dalam hal safety-nya. Kita masih ingat musibah Chernobil di Rusia akibat kebocoran reaktor nuklir. Tapi tengok juga beberapa negara yang sudah mengadopsi nuklir sebagai sumber energi, lebih banyak aman-nya daripada celakanya.
Apapun sumber energi yang akan dipilih nanti sebaiknya ditanggapi dengan arif dan bijak. Ada baiknya kita berhemat energi.