Monday, October 04, 2004

Anak (2)

ANAK adalah segalanya. Sedang bermasalah atau kena kasus, misalnya, pasti dirasakan seorang ibu. Seorang ayah bisa enteng mengatakan, ''Ilang-ilangan endok siji, hilang satu anak tak apa. Tapi, bagi seorang ibu, anak bermakna lain.

Maka, jangan heran jika seorang ibu yang siangnya marah dan menjewer kuping anaknya, malam hari bisa berurai air mata. Ia sedih, trenyuh, kasihan, dan berdoa sembari memandangi wajah anaknya yang tertidur lelap dalam kepolosan bocah: ''Ya, Allah, jadikan dia anak yang saleh.''

Memang, memperhatikan anak selagi tidur sering bikin nggregel. Menyentak hati. Tapi, sebenarnya, bocah nakal itu wajar. Menjewernya pun lumrah. Mendidik anak itu seperti main layang-layang, kadang diulur kadang ditarik, sesuai terpaan angin. Adapun sikap keras itu harus dilakukan biar dia tahu bertata krama dan memahami hidup.

Artinya, kemarahan itu tidak nandes. Ikatan emosi ibu-anak begitu kuat. Sekalipun buah hati itu sulit diatur, bahkan terlibat mengonsumsi narkoba atau kasus kriminal lain, misalnya, akan dilindungi mati-matian. Malunya si anak juga dirasakan ibu. Bahkan, ada yang mengeluarkan milyaran rupiah demi menutup aib. Berbeda dengan sikap seorang bapak. Menghadapi fakta bahwa anak laki-lakinya tertangkap polisi dengan tuduhan penyalahgunaan narkoba, misalnya, ia bisa lebih tegar. ''Biarlah hukum menyelesaikan. Jika memang bersalah, ya, harus ditanggungnya,'' kata si ayah.

Alasannya logis. Anaknya sudah mahasiswa yang bisa membedakan baik-buruk. Tuhan pun telah mengatur rezeki, jodoh, dan takdirnya. Pasrah. Tapi, bukan berarti dia tidak menyayangi si anak. ''Saya justru stres menghadapi istri, karena dia menangis terus,'' kata pria ini.

Maklum, wanita lebih diribetkan oleh berbagai pertimbangan, termasuk misalnya:
''Mau ditaruh di mana muka kita.'' Omongan negatif pasti bikin kuping merah. Aib yang mencoreng kehormatan keluarga itu tak mudah dihapuskan.

Adalah seorang ibu yang tak bisa mengerem lidah dan emosinya. Ia memiliki anak gadis. Cantik, mulus, dan prospektif. Modal tampang itulah yang memicu hasrat si ibu untuk berangan-angan selangit. Hatinya bakal puas oleh kehormatan orang lain, karena kebutuhan duniawinya bakal tercukupi dan hidup terpandang.

Pendeknya, dia bercita-cita gadisnya jadi orang. Maka, kala anak perempuan itu pacaran dengan teman sebaya yang masa depannya tidak jelas, dia nyap-nyap. Segala omongan jelek terlontarkan. Ia lupa pada asal-usul. Sebuah doa dilantunkan: ''Ya, Tuhan, jauhkanlah anak gadisku dengan pacarnya, seperti bumi dan langit.''

Namun, cinta keduanya tak terpisahkan. Mereka menikah. Toh, si ibu tetap tidak rela. Doanya tidak pernah surut: ''Jauhkan keduanya, seperti langit dan bumi.'' Allah mengabulkan doa tersebut. Anak perempuannya meninggal dalam persalinan anak pertama. Nasi telah jadi bubur. Padahal, sebenarnya, bukan kematian yang dikehendaki.

Hidup, tampaknya, bukan berarti memperoleh hak untuk mengatakan apa saja yang kita inginkan. Juga mengangankan sesuai idaman. Kehidupan itu sudah ada Yang Mengatur. ''Ada dua cara menghayati kehidupan. Yang satu adalah seolah-olah mukjizat itu tak pernah ada. Yang lain adalah seolah-olah segala sesuatunya merupakan mukjizat,'' kata Albert Einstein.

Anda sependapat? Yang pasti, pemahaman Anda sendiri yang bakal mengubah arti kehidupan itu sendiri. Seperti menyantap makanan, segenap kenikmatan hidangan hanya ada dalam suapan pertama. Begitu pula menghadapi kerumitan hidup; hanya bikin shock pada awalnya. Biarkan seperti air mengalir, karena alam mengatur dengan sendirinya.

Dalam The Way of the Wizard, Rahasia Jurus Sang Empu, Deepak Chopra menulis pemahaman hidup tentang perlunya mengubah unsur sifat manusia yang rendah seperti ketakutan, ketidaktahuan, kebencian, dan rasa malu menjadi unsur yang paling berharga: cinta kasih dan rasa terpenuhi atau ketenteraman batin.

Penggalan sajak Sunan Bonang ini pun bisa dijadikan sebagai cermin hidup:
Perkara remeh dan pelik di sekelilingmu
Tak lain adalah buah pikiran
Dan perbuatanmu juga.