Monday, October 04, 2004

Anak (1)

BUAH perkawinan itu anak. Tanpa anak, rumah tangga seolah gersang; tiada canda dan tawa. Apalagi jika buah hati itu mulai bisa berkomunikasi dan mengatur logika, yang kadang memunculkan pertanyaan menyentakkan: lugu dan terkesan kurang ajar! Persis ulah tokoh komik dalam serial televisi Crayon Sinchan. Kita pun bisa nyengir sendiri.

Di dalam gendongan orangtua, anak sering digadang-gadang agar kelak, jika dewasa, menjadi orang yang bisa menjunjung nama baik atau martabat orangtua. Berbakti, dan tidak membuat malu keluarga. Pokoknya, tak ada orangtua yang menginginkan anaknya, misalnya, jadi penipu, pemeras, bajingan, atau buronan.

Jangankan mendoakan yang jelek-jelek, yang berhidung pesek, berkulit hitam, berambut jaggung pun pasti akan dininabobokan sebagai bocah cakep nan menawan. Lewat bisikan dan nyanyian indah, si anak diharapkan jadi manusia mulia. Bocah yang suci bak selembar kertas putih itu mulai menerima getaran cinta dan harapan.

Ternyata, tak semua kerang berisi mutiara. Tidak semua harapan terpenuhi. Banyak anak yang menyimpang dari garis ''kepatuhan''. Maka, tak segan-segan orangtua memutuskan pertalian darah dengan sang anak. ''Ilang-ilangan endok siji,'' kata orang Jawa. Sebuah keterpaksaan, karena si anak dianggap mbalelo, mbrengkelo alias semaunya sendiri, tak mau diatur.

Tiap orang memang membawa garis kehidupan sendiri. Kenakalan dan kebandelan bisa berubah jadi kebaikan, sejalan dengan waktu. Atau sebaliknya, malah tidak keruan. Jika dinasihati, misalnya, jawaban si anak malah sengak: 'Itu kan dulu. Kuno.' Atau, membalas dengan ucapan 'uh' atau 'ah' yang bernada merendahkan orangtua.

Di mata penyair Kahlil Gibran (1883-1931), anak adalah titipan. Ia tak perlu diprogram untuk jadi duplikat. Tulisnya: 'Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri. Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan dirimu. Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu.'

Lanjut Gibran: 'Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu. Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri. Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh tapi bukan jiwa mereka, karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok, yang tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi. Engkau bisa menjadi seperti mereka, tapi jangan coba-coba menjadikan mereka sepertimu.'