Tuesday, August 23, 2005

CatPer Gn. Bromo (2)

Kami tidak berlama-lama di gardu pandang, kira-kira hanya sekitar 15 menitan kami menikmati panorama Gunung Bromo dan sekitarnya dari puncak Gunung Penanjakan. Suasana di Gardu Pandang Gunung Penanjakan saat itu sudah sepi karena setelah puas melihat matahari terbit, wisatawan bergegas menuju ke Gunung Bromo. Tinggal beberapa orang saja yang masih bertahan di sana, masing-masing 4 warga Malaysia, 4 orang bule yang mengaku berasal dari Perancis dan 3 orang Indonesia termasuk kami berdua. Mas Agung yang fasih berbahasa Perancis segera menyapa warga Perancis dan mengobrol dengan mereka. Dia juga diminta oleh warga Malaysia untuk memotret mereka. Aku sendiri berkenalan dengan seorang warga Indonesia yang mengaku bernama Jay. Dia rupanya anggota rombongan keempat warga Perancis itu. Tadinya aku agak enggan untuk berkenalan, tapi karena aku sempat memperhatikan pembicaraan dia dengan seorang warga bahwa dia dan rombongan ingin ke Gunung Bromo tanpa kendaraan, aku memberanikan diri untuk berkenalan. Alhamdulillah akhirnya kami menjadi satu rombongan untuk menuruni Gunung Penanjakan menuju Laut Pasir dan Gunung Bromo.

Kami bergegas meninggalkan Gardu Pandang, mencari jalan pintas untuk menuju ke Laut Pasir dan Gunung Bromo. Sebelum meninggalkan gunung Penanjakan, kami berhenti di warung untuk membeli air minum dan makanan. Dari warung makan kami melanjutkan perjalanan. Mereka mengikuti langkahku menuju jalan pintas yang kami lewati sewaktu berangkat ke Gardu Pandang. Aku masih ingat betul jalan pintas itu dimana di situ berdiri sisa jagung bakar dengan 3 atau 4 batu sebagai penyangga. Selain itu, di situ juga terdapat sisa sesaji.

Perjalanan menuruni gunung Penanjakan sangat cepat, lebih cepat daripada waktu kami menaikinya. Kami berjalan beriringan dan sangat berhati-hati karena licin. Sesekali aku berpegangan pada rumput dan pohon-pohon kecil. Sepanjang perjalanan, warga Perancis paling banyak bicara. Menurut mas Agung, memang seperti itulah kebiasaan warga Perancis. Bahkan saat kerja pun mereka gemar mengobrol.

Kami terus menuruni gunung melewati jalan setapak. Aku berjalan paling depan, sesekali aku terpeleset dan hampir terjatuh. Di tengah perjalanan, kakiku terasa gemetar. Aku mencoba istirahat sejenak, sementara Jay aku suruh jalan duluan sekalian mencari jalan alternatif kalo-kalo ada jalan pintas yang lebih singkat untuk menuju Laut Pasir. Warga Perancis masih tetap saja mengobrol sepanjang perjalanan. Mas Agung sendiri ikut terlibat dalam obrolan mereka.

Saat kami berjalan, kami berpapasan dengan dua orang ibu-ibu sedang mencari kayu. Mereka menawarkan diri untuk diambil gambarnya. Selesai kami berfoto, mereka meminta bayaran kepada kami. Wah, kirain gratis... ternyata harus bayar.

Kami segera melanjutkan perjalanan hingga tibalah kami di Gardu Pandang di lereng gunung Penanjakan. Di situ sudah ada 2 orang wisatawan dan seorang penduduk setempat. Kami istirahat sebentar untuk sekedar menghilangkan lelah. Kakiku sendiri masih terasa gemetar. Dua pria Perancis dan Jay berjalan lebih dulu untuk melanjutkan perjalanan sedangkan aku, Mas Agung dan dua cewek Perancis masih berada di Gardu Pandang yang di sana sini penuh dengan coratan tangan-tangan jahil. Kami segera menyusul Jay melanjutkan perjalanan. Nampak Jay mencoba menuruni jalan setapak untuk menemukan jalan pintas, sedangkan kami menunggu di atas. Karena nggak ada jalan pintas, Jay kembali bergabung dan menyusuri jalan yang sudah ada.

Jalan setapak yang kami lewati berakhir di ujung jalan beraspal dimana terdapat tumpukan batu yang digali oleh penduduk. Kami terus berjalan hingga sampai di perkebunan Lencang (semacam tanaman bawang) milik penduduk. Kami berhenti sejenak, mencari jalan pintas. Aku mencoba mendekati rumah penduduk untuk mencari jalan pintas. Oleh pemilik rumah, dia mengatakan bahwa tidak ada jalan pintas di situ. Aku berbalik kembali ke rombongan.

Mas Agung dan seorang warga Perancis mencoba bertanya pada orang yang berdiri di dekat mobil pengangkut hasil perkebunan. Aku mengikuti mereka dan ikut ngobrol dengan sang bapak pemilik mobil. Saat kami mengobrol, tiga warga Perancis nekat menerobos perkebunan penduduk. Aku agak takut mengikuti mereka, takut kena marah pemilik kebun. Bapak pemilik mobil memberi semangat untuk mengikuti ketiga warga Perancis tersebut. Akhirnya dengan setengah berlari aku beranikan diri mengikuti mereka.

Di bibir sungai tak berair, mereka kebingungan mencari jalan menyeberang. Aku yang sudah berada di bibir sungai segera mengikuti jalan turun yang sudah ada. Yang lain mengikuti di belakangku. Jalan turun itu sangat curam dan licin. Aku berjalan pelan sambil berpegangan pada rerumputan. Sampai di bawah, aku terus mengikuti jalan naik yang juga sangat curam dan licin. Aku berjalan merangkak untuk menjaga keseimbangan karena selain kakiku masih gemetar, sandal gunung yang aku pake juga sangat licin. Tibalah aku di seberang sungai. Aku berhenti sejenak dengan menyandarkan diri di pohon. Seorang warga perancis mendahuluiku mengikuti jalan yang juga dilewati penduduk setempat. Kami menyapa seorang ibu petani dan menanyakan jalan menuju ke Laut Pasir. Sang ibu membenarkan bahwa jalan yang kami lewati akan menuju ke Laut Pasir dan Gunung Bromo.

Kami terus berjalan hingga akhirnya jalan turun ke Laut Pasir sudah di depan mata. Kami segera menuruni jalan tersebut dengan hati-hati. Aku beberapa kali terpeleset. Hal serupa dialami oleh Jay. Kami berpapasan dengan seorang penduduk yang menawarkan jasa kuda kepada dua cewek Perancis tapi ditolak oleh mereka. Benar juga apa yang dikatakan mas Agung bahwa orang Perancis paling doyan jalan.

Sampailah kami di Laut Pasir yang luas. Rumput-rumput mengering, debu beterbangan oleh langkah kaki kami. Saputangan aku keluarkan untuk menutup hidung. Kami terus berjalan mengikuti jejak kaki yang mengarah ke Gunung Bromo. Aku masih keheranan dengan keempat warga perancis yang belakangan aku ketahui bernama Antonio, Nico, Dewi dan Natalie karena mereka mengobrol tiada henti. Aku, Mas Agung dan Jay hanya sesekali mengobrol selama dalam perjalanan.

Kami berhenti di dinding batu sebuah Pura untuk istirahat dan berteduh. Di situ aku segera duduk sambil meluruskan kaki. Aku tidak perduli betapa kotornya tampangku saat itu. Kami minum air mineral yang kami bawa, sedangkan warga Perancis makan wafer bawaan mereka. Mereka membagi juga kepada kami. Satu hal yang patut dicontoh dari warga Perancis, mereka sangat perduli dengan kebersihan. Mereka tidak akan membuang sampah seenaknya. Sewaktu Jay minum, botol bekas minumannya dia buang dengan menyelipkannya di batu dinding Pura. Oleh Antonio botol diambil dan ditutup rapat kemudian dimasukkan ke dalam tas-ku. Begitulah orang Perancis, selain doyan jalan, doyan ngobrol, mereka juga perduli dengan kebersihan.

Matahari sudah meninggi, panasnya tidak terasa karena angin gunung yang dingin bertiup cukup kencang. Aku meninggalkan rombongan menuju bangunan dekat kaki gunung Bromo. Bangunan yang tidak lain adalah toilet umum itu kondisinya memprihatinkan. Coretan ulah tangan-tangan jahil mengotori seluruh dinding toilet. Pintu toilet tertutup rapat, hanya satu yang terbuka karena memang tak dilengkapi pintu. Aku segera masuk untuk buang air besar. Selesai buang air besar, aku segera keluar. Berdiri menunggu rombongan sekaligus memandang 4 orang pemuda yang lagi camping dekat toilet. Mereka menawari kami kopi panas tapi kami menolaknya karena harus segera naik ke Gunung Bromo.

Kami segera berjalan menuju tangga. Menaiki tangga yang kemiringannya entah berapa derajat, kami beberapa kali berhenti untuk melepas lelah. Setapak demi setapak, akhirnya satu per satu dari kami mencapai bibir Gunung Bromo. Aku melihat ke sekitar, memandang gunung Bromo yang sempat meletus beberapa bulan yang lalu dan menewaskan dua orang pengunjungnya. Sepertinya letusannya tak membuat wajah Gunung Bromo berubah, masih sama seperti ketika aku datang untuk pertama kalinya.

Di puncak Bromo, aku lebih banyak duduk daripada berjalan menyusuri bibir kawah. Sedangkan yang lain foto-foto bersama dengan serombongan pemuda yang entah dari mana asalnya. Mas Agung sendiri akhirnya ikut duduk membelakangi kawah Bromo, memandang ke arah laut pasir. Dewi dan Jay turut serta bersama kami. Mas Agung mengobrol dengan Dewi dengan bahasa Perancis yang aku tidak tau apa isi pembicaraan mereka.

Puas di Gunung Bromo, kami segera beranjak menuruni tangga meninggalkan dua orang bule tua yang masih duduk di bibir kawah. Antonio dan Jay berjalan lebih dulu meninggalkan aku, mas Agung, Dewi, Natalie dan Nico. Mereka mengikuti arah serombongan pemuda yang lebih dulu turun. Kami sendiri berbeda haluan dengan Jay dan Antonio, mencoba mencari jalan pintas menuju ke penginapan. Sampai di ujung laut pasir di bawah dinding tebing, kami tidak menemukan jalan ke atas di mana terdapat penginapan. Akhirnya kami menyusuri dasar dinding tebing hingga akhirnya menemukan jalan menuju ke penginapan. Dewi dan Natalie lebih suka naik kuda untuk menuju ke penginapan, sedangkan aku, Mas Agung dan Nico berjalan kaki. Kami berpisah dengan Nico yang akan menuju ke penginapannya sedangkan kami sendiri bergegas mencari kamar mandi.

Sehabis mandi, kami mengobrol dengan penduduk setempat. Kami baru tau kalo kawasan wisata Gunung Bromo sudah dibuka untuk umum sejak zaman Belanda. Di Cemoro Lawang sudah berdiri Hotel sejak tahun 1969 bersamaan dengan masuknya aliran listrik ke sana. Bandingkan dengan daerahku yang baru menerima aliran listrik tahun 1995, dan daerah mas Agung yang katanya baru masuk aliran listrik sekitar tahun '80an. Di Cemoro Lawang pula tidak diperbolehkan sejengkal tanah pun dijual kepada pendatang selain warga mereka sendiri. Semua bangunan di sana adalah milik mereka sendiri yang harus mereka jaga secara turun temurun. Mungkin dua menara yang berdiri di sana juga sekedar menyewa tanah tanpa memiliki hak milik atas tanah itu.

Selesai mengobrol kami segera mencari makan di sekitar pemberhentian mobil. Makanan di sana murah, juga penginapan dan hotelnya. Yang mahal mungkin sarana transportasinya. Meskipun matahari cukup cerah, udara dingin membuat badanku menggigil saat menunggu mobil yang akan membawa kami ke Probolinggo. Sopir dan Kernet mobil sudah nggak sabar meminta kami segera masuk ke dalam mobil. Kami sangat tidak nyaman setiap kali dikejar-kejar seperti itu. Baru setelah 4 warga Malaysia berlalu menuju mobil, kami segera masuk ke dalam mobil. Begitu terisi penuh, mobil segera berjalan menuju Probolinggo.

Sepanjang perjalanan badanku terasa kurang sehat. Dari sejak turun dari Gunung Penanjakan, aku susah bersin sedangkan mata sembab berair dan perih. Mukaku juga perih, jerawat tumbuh di bawah hidung. Aku sempat tertidur di dalam mobil menunggu sampainya mobil di Terminal Probolinggo. Sampai di terminal Probolinggo, kami segera berpindah ke bus menuju Surabaya.

Karena badanku yang cape dan kurang sehat, di terminal Bungur Asih Surabaya aku putuskan untuk istirahat semalam di penginapan dekat Terminal. Sedangkan Mas Agung sendiri memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulang ke Temanggung. Besoknya aku kembali ke Jakarta dengan naik kereta Ekonomi Kertajaya.

Untuk Mas Agung, terima kasih atas kebersamaannya. Semoga di lain waktu kita bisa jalan bareng ke banyak tempat. Sukses di negeri Napoleon. AMIN.

Monday, August 22, 2005

CatPer Gn. Bromo (1)

Sebenarnya ini bukan kali pertama aku ke Gunung Bromo karena pada April 2004 lalu aku juga ke Bromo bersama beberapa teman. Meskipun sudah pernah ke Bromo sebelumnya, tapi perjalanan ke Bromo kali ini terasa lebih berkesan karena dilakukan dengan cara yang berbeda.

Awalnya, Mas Agung (Lix) yang ngajakin aku ke Gunung Bromo. Masa liburannya pengen dihabiskan di Indonesia. Dia sendiri saat ini masih kuliah di Marseille, Perancis. Selain ngajak aku, dia juga minta dicarikan teman buat nemenin beliau. Tapi sampai hari "H", aku tidak dapat teman lain. Kebanyakan karena alasan nggak ada jatah libur. Aku sendiri bisa berangkat karena nggak kenal hari libur. Asal ada duit, semua beres.

Kami berdua janjian ketemu di Surabaya tanggal 18 Agustus 2005. Aku sendiri lupa menanyakan kapan dia tiba di Indonesia. Beberapa hari aku aku agak was-was karena nggak ada kabar dari Mas Agung. Messenger nggak dijawab. Baru pada 16 Agustus aku dapat kabar dari Mas Agung kalo dia sudah berangkat ke Surabaya lebih dulu. Plong juga akhirnya, hilang sudah keraguan untuk berangkat ke Surabaya.

Aku berangkat ke Surabaya naik kereta ekonomi Kertajaya jurusan Pasar Senen (Jakarta) - Pasar Turi (Surabaya). Berangkat dari PI jam 15:00. Kereta sendiri berangkat jam 16:45. Aku memperkirakan waktu 1 jam 45 menit cukup untuk perjalanan dari PI ke stasiun Pasar Senen. Tapi di jalan aku sedikit was-was kalo-kalo telat sampai di stasiun. Selain laju bus PPD yang aku tumpangi berjalan agak lambat, di kawasan Monas yang berdekatan dengan Istana Negara jalanan ditutup karena akan ada upacara penurunan bendera. Bus yang aku tumpangi terpaksa ambil jalan lain sehingga waktunya jadi agak molor. Jam 16:30 sebelum bus sampai di terminal Pasar Senen, aku sudah turun duluan, berlari menuju stasiun. Alhamdulillah dapet tiket, berarti kereta belum berangkat. Aku buru-buru mencari tempat duduk sesuai nomor yang tertera di karcis. Tepat jam 16:45 kereta berangkat.

Aku tiba di stasiun Pasar Turi kira-kira jam 7:30 pagi. Sebelum sampai di stasiun, aku terima 3 SMS sekaligus yang kesemuanya dari mas Agung. Beliau menanyakan keberadaanku dan memberi instruksi untuk ketemu di Halte Darmo Raya dekat apotek Kimia Farma. Turun dari Kereta aku mencari mobil ke arah Jl. Darmo. Aku sempat bertanya dengan seorang laki-laki tentang kendaraan yang menuju ke Arah Darmo Raya. Beliau menyarankan aku untuk naik angkutan label "C", kemudian dilanjutkan naik bus jurusan Bungur Asih.

Mobil yang ditunggu pun tiba, aku segera naik. Di dalam penuh sesak oleh penumpang. Aku sendiri nggak kebagian tempat duduk sehingga harus jongkok di dalam mobil. Karena nggak kuat jongkok, kakiku sedikit gemetar. Sampai di perempatan lampu merah aku turun dengan kaki gemetar. Alhamdulillah aku turun tidak salah tempat karena jalan itu dilewati oleh bus Damri jurusan Bungur Asih yang juga melewati jl. Darmo Raya.

Bus Damri yang aku tumpangi melaju pelan sambil sesekali berhenti menaikkan penumpang. Aku tidak begitu asing dengan jalan yang dilewati oleh bus itu karena dulu aku pernah jalan-jalan di daerah itu. Di Jl. Darmo Raya aku turun di perempatan Monumen Polri. Aku bergegas mencari apotik Kimia Farma dengan berjalan ke arah selatan. Sampai di pos petugas PPD aku bertanya pada petugas. Beliau mengatakan kalau Apotek Kimia Farma letaknya berseberangan dengan gedung Bank BCA. Gedung BCA sendiri ternyata letaknya jauh di belakang tempat aku turun dari Bus. Aku jalan berbalik arah. Sampai di depan gedung BCA, aku liat Mas Agung berdiri di halte Kimia Farma. Agak susah menyeberang jalan Darmo Raya karena lalu lintas sangat ramai. Dengan hati-hati, aku menyeberangi jalan Darmo. Akhirnya sampailah aku di halte Darmo dan untuk pertama kalinya aku bertatap muka dengan Mas Agung yang di chattingan berinisial "LIX".

Dari halte Kimia Farma, kami menuju hotel tempat mas Agung menginap yang jaraknya tidak begitu jauh dari halte. Kami ngobrol sebentar sebelum aku mandi dan mencuci sandalku yang kelewat kotor. Selesai mandi mas Agung menawari aku makan yang sepertinya sudah disiapkan sebelum aku datang. Dia ngasih tau aku kalo check out lewat jam 12:30 bakalan kena charge baru. Waktu yang tersisa aku manfaatkan untuk tidur sebelum kami berangkat ke Gunung Bromo.

Kira-kira jam 12 kami meninggalkan hotel. Kami memutuskan untuk naik bus menuju Probolinggo. Perjalanan dari Surabaya - Probolinggo ditempuh kurang lebih selama 2 jam. Sesampainya di Probolinggo, kami istirahat sejenak di warung makan dekat Terminal. Aku makan Nasi Soto + Extra Joss, sedangkan mas Agung sendiri lebih suka makan apel bawaannya. Selesai makan kami menuju ke mobil Isuzu warna biru langit yang akan membawa kami ke Cemoro Lawang, tempat terdekat dengan kawasan Gunung Bromo.

Di dalam mobil, kami harus menunggu cukup lama kira-kira 2 jam, menunggu mobil terisi penuh oleh penumpang. Beberapa awak angkutan silih berganti masuk ke dalam mobil, ngobrol dengan beberapa awak angkutan lain yang sudah lebih dulu ngobrol dengan sopir angkutan mobil kami. Entah apa yang mereka bicarakan, kami berdua sama sekali tidak mengerti bahasa mereka. Logat bicaranya mirip logatnya Mbok Bariah di film boneka "Si Unyil". Kira-kira jam 4 sore, mobil kami keluar dari terminal dengan hanya terisi seorang sopir dan dua orang penumpang. Mobil tidak langsung melaju ke Cemoro Lawang, tapi menunggu penumpang di luar terminal. Setiap kali ada orang atau serombongan orang turun dari angkutan lain, kami berharap mereka masuk ke mobil kami agar kami segera diberangkatkan. Beberapa orang penumpang sudah ribut meminta sang sopir menjalankan mobilnya. Akhirnya mobil kami terisi penuh oleh penumpang dan segera diberangkatkan.

Perjalanan dari Probolinggo ke Cemoro Lawang ditempuh selama kurang lebih 2 jam. Kami agak was-was setiap kali penumpang turun, khawatir kalo-kalo mobil kehabisan penumpang sebelum kami sampai di tujuan dan akhirnya kami diturunkan di tengah perjalanan. Saat mobil berhenti di dekat masjid, sang sopir meminta tambahan ongkos kepada kami. Mas Agung menolaknya karena kami merasa sudah membayar sesuai tarif seperti yang dibilang kondektur bus bahwa tarif angkutan Probolinggo - Cemoro Lawang Rp. 12.500. Tapi ternyata tarif segitu terlalu mahal. Menurut pengakuan penumpang lain, tarif Probolinggo - Cemoro Lawang hanya Rp. 7500,- (siang hari).

Kira-kira 15 menitan mobil kami berhenti. Satu dua penumpang naik ke dalam mobil. Dua diantaranya sepasang bule yang sama-sama hendak ke Gunung Bromo. Mobil pun terisi penuh oleh penumpang dan segera melanjutkan perjalanan ke Cemoro Lawang. Kira-kira jam 19:30 kami tiba di Cemoro Lawang. Kami turun dari mobil disambut oleh beberapa orang penduduk yang menawarkan penginapan. Kami tidak langsung menerima tawaran mereka. Kami berjalan mendekati bibir Laut Pasir diikuti seorang bapak yang ngotot nawarin penginapan. Kehadiran bapak dan seorang penjual souvenir membuat kami tidak nyaman memandang Gunung Bromo dan Laut Pasir yang remang-remang diterangi cahaya bulan. Nampak garis-garis putih terlihat jelas di laut pasir yang luas.

Cukup lama kami memandang Gunung Bromo dan Laut pasir sambil mengobrol. Bapak yang nawarin kami penginapan sudah berlalu entah kemana. Penjual souvenir sendiri masih menggelar dagangannya dekat cafe di belakang tempat kami duduk. Puas memandang dan ngobrol, kami berlalu dari tempat duduk kami untuk mencari penginapan. Kami berjalan ke arah bapak-bapak yang tadi menyambut kedatangan kami. Entah kemana bapak yang tadi ngotot nawarin penginapan, kami tidak menemukannya. Justru kami berjumpa dengan seorang bapak lain yang juga nawarin penginapan. Setelah nego harga selesai, kami diajak masuk ke dalam penginapan yang jaraknya tidak jauh dari menara BTS. Kami dipersilakan memilih kamar dari dua kamar yang ada. Setelah kami membayar sewa penginapan, sang bapak berlalu meninggalkan kami.

Di kamar, kami cukup geli membaca coretan-coretan dari orang-orang yang pernah menginap di penginapan tersebut. Tulisan-tulisan berbau mesum menghiasi dinding kamar. Aku sempat menulis beberapa coretan sewaktu mas Agung mandi. Di kamar sebelah kami contohnya tertulis seperti ini "13-9-04 - Akan kubuat kenangan selama hidupku" - ditulis oleh Dewi dan Bandi. "16-17 Mei 04 - Nisa - Bagus / Neni - Dhana" di bawah tulisan mereka tertulis peringatan "WARNING - Awas Diintip Dari Atas". "14 Okt 04 - Aku bermalam di sini" ditulis oleh Anis + Roni from Kebonsari. Tidak semua tulisan berbau mesum, ada juga tulisan lain yang sedikit sopan sepert ini :

The first vacation for us
- Mas Rizki "Melon"
- Yeni "Kenthang"
- Eponk "Tomat"
- Ponas "Nanas"
The Extremely coldest place, ever!

Sedangkan di kamar kami, tertulis coretan-coretan yang tidak kalah lucu bin jorok. "Januari 01, 04 - Love Happy New Year Anak-Anak Zoeroboyo (Sapta vs Dedik) - Aku Cayank Kamu, Enak tadi malam nge*** ama kamu". "Love's Bullshit but we were here 4 just having f***ing love" - ditulis oleh Ponky vs An Wijaya. Ada juga tulisan yang berbau harapan/doa. "12 Juni 05 - Sweet Memory in Bromo" Ditulis dan ditanda tangani oleh Agus dan Ratna. Di bawah tulisan mereka tertulis "Semoga jd jodoh yg abadi. Peace & Love".

Begitulah gambaran penginapan kami. Meskipun banyak coretan-coretan, tapi penginapan tersebut cukup bersih. Bak mandi terisi air yang hampir penuh dengan seekor ikan mas di dalamnya. Sepertinya penduduk sekitar Gunung Bromo termasuk orang-orang jujur. Mereka meninggalkan rumah tanpa mengunci pintu. Saat kami meninggalkan penginapan untuk makan, pintu rumah dibiarkan terbuka. Sedangkan pemilik penginapan entah berada di mana.

Selesai makan kami kembali ke penginapan untuk tidur. Sebelum tidur, aku sempat SMS-an dengan teman di Surabaya. Sinyal di sekitar Gunung Bromo termasuk kuat, berbeda dengan waktu pertama kali aku ke Bromo dimana HP-ku sama sekali tak ada sinyal. Sepertinya dua menara BTS dekat penginapan kami milik operator GSM.

Puas SMS-an, akhirnya kami tidur dengan selimut tebal. Suhu yang dingin menjadikan tidurku tidak begitu nyaman. Beberapa kali aku terbangun dari tidurku. Sedangkan mas Agung sepertinya sudah biasa dengan suhu dingin. Selain di Perancis bersuhu dingin, dia dan keluarganya juga tinggal di daerah pegunungan di Temanggung.

Tepat jam 03:15, alarm HP-ku berbunyi. Aku segera bangun dan mengintip keluar lewat jendela. Di luar nampak beberapa orang berjalan bersama, entah ke mana tujuannya aku tidak tau. Aku segera beranjak dari tempat tidurku untuk cuci muka dan gosok gigi. Suhu air yang dingin membuatku menggigil. Berikutnya giliran mas Agung yang ke kamar mandi. Kira-kira jam 03:30 kami meninggalkan penginapan tanpa pamit pada sang pemilik karena kami sendiri tidak tahu kemana perginya pemilik penginapan. Pintu rumah tidak dikunci sejak kami berangkat tidur.

Di bawah cahaya rembulan, kami berjalan ke arah Gunung Penanjakan tempat di mana gardu pandang untuk melihat matahari terbit berada. Kami memilih berjalan kaki karena menurut bapak yang semalam nawarin penginapan, ada jalan pintas menuju puncak gunung Penanjakan tanpa harus melewati laut pasir. Mas Agung juga lebih suka jalan kaki dibandingkan naik angkutan Jeep maupun kuda. Buat aku nggak masalah buat jalan kaki karena aku sendiri sudah terbiasa jalan kaki. Malah sebelumnya aku berpesan sama mas Agung, kalo mau jalan sama aku mesti nggak boleh manja.

Kami menyusuri jalan beraspal menuju gunung Penanjakan. Jalan beraspal ini berakhir di kaki gunung, selebihnya berupa jalan setapak. Kami terus berjalan menaiki jalan setapak. Sesekali kami berhenti karena mas Agung mengeluh sakit perut. Badanku sudah tidak begitu menggigil kedinginan. Setapak demi setapak kami lewati. Tibalah kami di sebuah gardu pandang yang aku mengira perjalanan sudah berakhir. Sambil beristirahat, aku melihat ke sekeliling gardu mencari menara telekomunikasi yang dulu pernah aku lihat. Aku sama sekali tidak menemukan menara telekomunikasi. Aku kira bukan ini tempatnya. Pasti masih di atas lagi.

Perjalanan kami lanjutkan. Kami memanjat dinding di atas gardu pandang untuk mencari jalan ke atas. Aku agak was-was sewaktu mas Agung memanjat, khawatir dengan perutnya yang masih sakit. Alhamdulillah kami menemukan jalan. Belakangan baru kami ketahui bahwa jalan setapak untuk ke atas posisinya ada di samping gardu pandang.

Kami terus bejalan. Otot-otot kakiku terasa mengeras. Kadang-kadang mas Agung mengeluh sakit perut. Aku memberi waktu dia untuk istirahat sejenak. Di tengah-tengah perjalanan, mungkin baru separuh tinggi gunung Penanjakan kami mendaki, tampak buratan warna merah di langit di balik bukit. Nampaknya matahari sebentar lagi bakalan terbit. Karena kami berpikir pasti bakalan telat kalo melihat matahari terbit di gardu pandang, kami memutuskan untuk menikmati matahari terbit di tengah perjalanan. Cukup lama kami menunggu matahari terbit. Kami juga was-was kalo-kalo salah jalan karena patokan yang aku pake adalah menara komunikasi. Sementara di puncak Penanjakan sama sekali tak terlihat lampu yang menyala dari menara komunikasi.

Saat matahari terbit, dunia tampak lebih cerah. Gunung Bromo nampak indah dengan kepulan asap putihnya. Sedangkan si jangkung Mahameru mengepulkan asap hitam yang membumbung tinggi. Tak terlihat adanya kabut di sekitar gunung Bromo. Hamparan pasir yang luas jelas terlihat dengan garis-garis putih di atasnya. Aku memandang ke atas, mencari menara yang jadi patokan. Nampak olehku menara yang aku cari-cari. Menara sebanyak itu tak satupun menyala lampu menara seperti menara-menara komunikasi kebanyakan. Aku dan Mas Agung bergegas menuju ke arah menara itu. Jalan setapak yang kami lewati sangat gembur dan berdebu. Kami sangat hati-hati dalam melangkah, kadang-kadang aku berpegangan pada rumput dan pohon-pohon kecil di sekitar jalan agar tidak jatuh terpeleset. Jalan setapak itu berakhir di jalan raya beraspal. Sebelum kami melanjutkan perjalanan, kami berhenti sejenak untuk istirahat melepas lelah.

Kami segera melanjutkan perjalanan ke Gardu Pandang. Tak berapa lama kami berjalan, nampak di kanan kiri jalan berjajar mobil Jip Land Cruiser. Artinya gardu pandang yang kami tuju tidak terlalu jauh lagi. Kami terus melangkah. Hampir semua pengunjung sudah beranjak meninggalkan gardu pandang sebelum kami sampai di sana. Kami cuek berpapasan dengan mereka, pokoknya harus sampai di gardu pandang. Puas rasanya, sampai juga kami di gardu pandang yang kami tuju. (bersambung)

Friday, August 12, 2005

Tak ada tempat buat orang kecil...

Semenjak aku jadi gelandangan di Jakarta, ke mana-mana aku lebih banyak naik angkutan umum atau jalan kaki. Berbeda dengan dulu sewaktu masih bekerja di kantor, ke mana-mana pake motor. Bahkan bisa gonta-ganti motor karena di kantorku ada 2 motor. Eh, dulu malah ada 3 ding. Motor boss-ku "Honda Tiger" sebelum dijual sering ditinggal di kantor dan aku yang sering pake motor itu.

Jadi gelandangan jelas gak punya tempat tinggal tetap. Kerja juga gak di satu tempat, kadang-kadang sehari bisa 2 s/d 3 tempat yang harus didatangi. Tidak selalunya setiap jalan dari satu tempat ke tempat lainnya aku naik angkutan umum. Kalo merasa sanggup dijangkau dengan jalan kaki, aku lebih suka jalan kaki. Selain ngirit, bebas macet, juga bikin fisik kuat.

Tapi sayang beribu sayang, tempat bagi pejalan kaki terasa kurang leluasa. Di Jakarta, trotoar semakin menyempit. Sudah gitu, di trotoar tumbuh lapak-lapak para pedagang. Yang terjadi, antara jalan untuk pejalan kaki dan jalan untuk kendaraan umum menjadi satu. Kadang-kadang di jalan aku sok menjadi raja jalanan. Mentang-mentang aku cuma jalan kaki, pemakai kendaraan bermotor main klakson saja meminta aku minggir/memberi jalan kepada mereka agar mereka cepat sampai di depan. Karena aku merasa juga pemakai jalan dan posisiku sudah di pinggir, enteng saja menanggapi mereka. Tetep anteng jalan tanpa peduliin mereka.

Jakarta memang macet, amat sangat macet. Apalagi kalo jam-jam sibuk seperti jam berangkat kerja/sekolah dan jam pulang kerja/sekolah. Hampir seluruh jalan di Jakarta macet. Temanku (Bang Muluk) dari Malaysia heran dengan kemacetan di Jakarta. Katanya, terlalu banyak kendaraan di Jakarta ini. Berbeda dengan di Malaysia, kalopun macet tidak separah dengan di Jakarta. Di sana juga lebih banyak mobil merk dalam negeri daripada mobil merk Jepang, Korea ataupun merk mobil eropa/amerika. Di sana juga banyak pejalan kaki. Dia sendiri ke mana-mana lebih suka jalan kaki.

Semoga kelak pejalan kaki lebih diperhatikan nasibnya. Bagaimanapun juga, pejalan kaki adalah orang paling irit, hemat BBM, bebas polusi, bebas tilang, paling nggak bikin macet asal dikasih tempat khusus (gak menyatu dengan jalan umum). Semoga ada yang mau ngasih AWARD buat pejalan kaki.... hehheheheh :p

Menghayal sampe pagi!!!!!

ROKOK juga HARAM....

Polemik seputar Fatwa MUI masih menjadi topik hangat di kalangan masyarakat. Di berbagai milis, terjadi perdebatan diantara anggota milis. Bahkan Pak SBY juga dibuat pusing dengan fatwa MUI yang melarang doa bersama. Padahal sebagai kepala negara dari sebuah negara yang berbhinneka, dia harus mengikuti kegiatan kenegaraan yang kadang-kadang berlainan dengan keyakinan (agama) beliau.

Fatwa MUI membuat kebanyakan orang bingung termasuk umat Islam itu sendiri. Tapi bagi aku, fatwa-fatwa MUI itu tidak terlalu aku pikirin. Maklum fatwa-fatwa yang belum lama dikeluarin tidak terlalu menyentuh kehidupanku, tidak pernah hadir dalam pikiranku. Mungkin karena terlalu "dangkal" pemahamanku tentang agama. Aku sendiri yakin, tidak semua umat Islam mengikuti setiap Fatwa yang dikeluarkan MUI.

Entah sudah pernah dikeluarkan atau belum tentang fatwa pengharaman ROKOK oleh MUI, bagi aku rokok adalah jelas-jelas HARAM. Haram untuk agama dan haram untuk masyarakat. Bagaimana tidak haram, rokok sama sekali tidak ada manfaatnya sama sekali. Dihisap gak bikin kenyang, dibakar bikin polusi, asapnya bikin tetangga non smoker berang, buang-buang duit. Dan lagi... "merokok dapat merugikan kesehatan dan merusak janin". Anehnya, jumlah pecandu rokok bukannya berkurang tapi malah bertambah dari waktu ke waktu. Anak-anak sekolah yang merasa "sudah gedhe" gak PD kalo belum merokok. Gak dianggap dewasa kalo belum merokok. Tidak salah kalo di negeri ini menjamur pabrik-pabrik rokok skala kecil dan besar. Tidak salah pula jika Phillip Morris (perusahaan rokok pembuat Marlboro) membeli perusahaan rokok HM Sampoerna yang sudah punya market cukup besar di Indonesia. Pertanyaannya, adakah diri kita sendiri berani menyatakan bahwa ROKOK adalah HARAM tanpa menunggu MUI mengeluarkan (menegaskan) fatwanya?!?

Sering kita melihat orang-orang merokok di tempat umum. Di dalam bis, di pusat perbelanjaan, di rumah makan/restoran atau di jalanan. Di masjid atau mushola-pun ada saja yang merokok. Bahkan di tempat-tempat umum yang sudah tertera label "DILARANG MEROKOK" juga tidak sepi perokok. Tidak bisa membacakah mereka para perokok? Pasti bisalah.... hanya mereka pura-pura tidak tau saja kali.

No Smoke, No Drugs, No Free Sex!!!! It's Me...... :-)

Monday, August 08, 2005

Kopi darat....

Alhamdulillah setelah sekian lamanya chatroom #kr tewas, kami anggota chatter di chatroom tersebut masih bisa bersilaturahmi. Sore tadi, Mbak Janty, Mbak Seri, Mbak Hepi, Bang "Legal" Muluk (chatter dr Malaysia), aku dan Rony (teman non #kr) bisa kopi darat alias ketemuan di Plaza Semanggi. Terakhir aku ikutan kopdar tahun 2003 di Pondok Gede, Bekasi. Setelahnya, setiap kali ada kopdar biasanya aku yang nggak pernah ikut.

Niatnya hari ini aku dan Rony cuman ketemuan dengan Bang Muluk. Sedari siang Bang Muluk yang sudah beberapa kali ketemu aku dan Rony ngajakin ketemuan di Hotel Aston tempat Bang Muluk menginap. Alhamdulllah sebelum aku berangkat ke Hotel Aston, mbak Janty ngajak ketemuan juga di Plaza Semanggi yang letaknya bersebelahan dengan hotel Aston. Akhirnya aku putuskan untuk ke Plaza Semanggi dengan mengajak Bang Muluk dan Rony turut serta.

Meskipun hanya kenal dari chatting, tapi hubungan kami sangat akrab. Mbak Janty, Mbak Hepi, Mbak Seri sudah seperti saudara sendiri. Cela-celaan itu sudah biasa. Malah itu yang bikin kopdar kami terasa berkesan. Sedangkan dengan Bang Muluk, meskipun kita beda bangsa tapi hubungan kami pun sangat-sangat akrab. Beberapa kali kami ketemuan, beliau minta diajak jalan-jalan atau cari makanan khas Indonesia. Dia pengen tau banyak tentang Jakarta karena setiap awal bulan dia harus ke Jakarta untuk berbisnis. Dia juga mensupport aku untuk berbisnis meskipun kecil-kecilan.

Sekitar jam 9-an, kami harus bubaran karena masing-masing punya acara sendiri. Bang Muluk harus jumpa temannya di Faletehan, Mbak Seri dan Mbak Hepi harus pulang ke tempat tinggalnya, Mbak Janty ada janji dengan temannya, sedangkan Rony entah punya acara apaan aku tidak tau. Aku sendiri langsung pulang ke Pondok Indah. Entah kapan lagi bisa kopdar dengan mereka.

Insya Alloh kopdar berikutnya di G. Bromo. Aku tunggu kedatanganmu mas Agung!!!!